Sponsor

Rabu, 08 Februari 2012

Lukisan Hitam Putih

Ini adalah sebuah lukisan hitam putih dari Tedja Suminar, yang diambil oleh salah seorang pelukis yang bernama Lambertus Hurek, dia menceritkan lukisan hitam putih karya tedja suminar tentang suasana kerja di pabrik rokok Wismilak, Surabaya.

Berikut ceritanya tentang lukisan hitam putih ini:


Saya sering bersepeda melintasi Jalan Undaan, meluncur ke pecinan, kampung Arab di Ampel, belok ke Kapasan, mampir ke Boen Bio, kelenteng terkenal di Surabaya, kemudian kadang-kadang mancal lagi hingga Kenjeran. Tentu saya melintasi rumah almarhum Lim Keng yang sekarang mangkrak.

Lim Keng selama hidupnya dikenal sebagai ‘raja sketsa’ di Jawa Timur. Garis-garisnya khas. Cara menggunakan tintanya pun sulit ditiru. Dia masukkan tinta ke botol kecap, kemudian dikeluarkan di atas kanvas. Jadilah lukisan-lukisan hitam-putih, skesta Lim Keng, yang unik.

Melihat rumah Lim Keng, tempat saya mampir selama beliau masih hidup dulu, saya pun gundah. Di sepanjang jalan, saya terkenang almarhum. Juga terkenang sketsa. Ingat lukisan hitam putih. Betapa sulitnya menemukan pelukis di Surabaya (atau Jawa Timur) yang mau menekuni hitam-putih secara total.

Dulu, ada Thalib Prasodjo di Sidoarjo, yang juga pendekar sketsa, dan sama seniornya macam Lim Keng. Tapi beliau pun berpulang beberapa bulan setelah Lim Keng. Lalu, siapa lagi ya pelukis di Surabaya yang masih konsisten dengan lukisan hitam-putih? Hm... saya susah menemukan sosok seniman maam itu.

Ada memang Nonot Sukrasmono, yang jago bikin drawing hitam-putih. Lukisan-lukisan Nonot sedap dipandang, menawarkan pemandangan yang alami. Nonot juga menekuni sketsa. Tapi, sebagai pelukis yang masih muda, Nonot juga menekuni gaya yang lain.

Maklum, sampai sekarang lukisan hitam-putih dianggap ‘tidak ramah pasar’. Jarang sekali orang yang mau membeli (baca: koleksi) lukisan dengan warna sangat minimalis itu. Lha, kalau tidak ada pembeli, si pelukis dapat uang dari mana? Mas Nonot masih bisa hidup karena pekerjaan sehari-harinya guru. Tidak mengandalkan hidup dari lukisan yang hitam-putih itu.

Ada juga Hardono, pelukis yang dulu banyak ‘minta petunjuk’ pada Lim Keng. Hardono menekuni drawing, bukan sketsa meski maunya sih sketsa macan Lim Keng. Tapi rupanya Hardono kurang percaya dengan kekuatan lukisan hitam-putih yang sudah dibuat. Bekas wartawan ini suka memberi warna pada darwing-nya. Dus, bukan hitam-putih lagi.

Nah, saat ini saya rasa satu-satunya pelukis di Surabaya yang main hitam-putih hanyalah Tedja Suminar. Baru-baru ini dia dapat penghargaan dari Wali Kota Surabaya sebagai seniman berprestasi Kota Surabaya. Di usia yang sudah 75 tahun, Pak Tedja masih tetap produktif. Semangat menggambarnya tidak kendor, begitu juga semangat humornya yang garing.

Tedja Suminar, meski konsisten betul di sketsa, sedikit beda dengan Lim Keng sebenarnya. Kalau Lim Keng benar-benar murni sketser, Tedja pernah menekuni beberapa gaya, termasuk bikin relief dan patung, sebelum mantap di sketsa hitam-putih. Memang susah menemukan seniman rupa yang sangat beriman pada kekuatan garis dan warna hitam-putih.

Karena itu, ketika Lim Keng dan Thalib Prasodjo berpulang, kemudian Tedja Suminar sudah 75 tahun, pertanyaannya: siapa lagi pelukis di Jawa Timur yang mau melestarikan tradisi melukis hitam-putih? Atau, mungkin lebih tepat: siapa lagi pelukis yang berani memilih hidup dari karya-karya hitam-putih?

Belum lama ini, masih dalam rangka ulang tahun Surabaya ke-718, digelar pasar seni lukis di Balai Pemuda. Ratusan pelukis, dengan ribuan lukisan, dijajakan di pasar yang meriah itu. Tiga kali saya keliling dari stan ke stan untuk menikmati lukisan-lukisan dari seniman berbagai kota di tanah air itu.

Sebagai penggemar hitam-putih, saya perhatikan betul apakah ada stan lukisan sketsa atau drawing hitam-putih. Ternyata, saya hanya menjumpai satu stan saja. Yakni, stan salah satu pelukis dari Semarang yang menggambar sketsa beberapa tokoh kemanusiaan seperti Gandhi, Gus Dur, atau Ibu Teresa. Adapun ribuan lukisan yang lain ngejreng, warna-warni, bahkan boros warna.

“Bikin lukisan hitam-putih itu gampang, Mas, tapi jualnya susah. Kita gak bisa makan kalau hanya jualan hitam-putih,” kata seorang pelukis terus-terang.

Tapi mengapa seniman-seniman besar macam Lim Keng atau Thalib Prasodjo berhasil membuktikan bisa hidup dari hitam-putih? Dan itu berarti ada kolektor-kolektor yang memang suka dengan hitam-putih.

Sepulang dari jalan-jalan keliling kota hingga Jematan Suramadu dengan sepeda pancal, saya memperhatikan lukisan hitam-putih karya Siti Rijati berjudul Penyeberangan Sungai-Ngagel, Dinoyo, 12-1-1986. lukisan ini sederhana saja, hitam-putih, tapi asyik dilihat, menurut saya.

Rupanya, ini merupakan lukisan hitam-putih terakhir dari Bu Rijati. Setelah itu dia membuat lukisan pemandangan, bunga-bunga, suasana, hingga kaligrafi... pakai warna tentu saja. Sementara lukisan suasana penyeberangan dengan perahu tambangnya itu belum laku-laku meski sudah berusia 25 tahun.

inilah sebuah cerita yang sungguh amat menarik, yang menurut lambertus hurek bahwa para pelukis hitam putih sudah semakin langka alias sudah jarang ditemukan di Indonesia ini.. Sungguh sayang sekali!

hurek.blogspot(dot)com

2 komentar: